Rasulullah SAW bersabda, "Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak
ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik
manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia." (HR Thabrani
dan Daruquthni, dari Jabir RA).
Hadis di atas kembali
mengingatkan jati diri kemanusiaan kita agar selalu bersikap ramah
dalam berinteraksi sosial di antara sesama. Suatu sikap yang dalam satu
bulan terakhir ini menjadi pertanyaan kita semua, khususnya menyangkut
sikap kita sebagai manusia untuk menghargai hak-hak kemanusiaan sesama.
Aksi
bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), Kepunton, Solo,
(25/9) lalu merajalelanya korupsi di berbagai bidang dan pelbagai
kerusuhan yang menjurus konflik SARA seperti kasus di Ambon beberapa
waktu lalu, makin menguatkan bahwa kita mulai tidak ramah dengan
nilai-nilai kemanusian dan kemajemukan. Kita mulai tidak acuh dan tak
ramah dalam mengawal bumi pertiwi yang kita cinta ini.
Bila
melihat hadis di atas, sangat jelas dan tegas bahwa objek yang dituju
dari hadis tersebut adalah "orang beriman". Jadi, sikap keramahan itu
menjadi satu hal yang mutlak harus diintegrasikan dalam diri orang yang
beriman. Artinya, kualitas keimanan seseorang itu salah satunya bisa
diukur dari seberapa jauh ia sebagai seorang mukmin dalam kehidupan
sosialnya itu melaksanakan "keramahan" kemanusiaannya (baca menghargai
dan menghormati).
Praksisnya, bila orang beriman itu hidup dalam
kemajemukan, maka ia bisa menghargai dan menerima segala perbedaan.
Bila ia seorang pejabat, maka ia bisa menyuarakan dan amanah pada
aspirasi rakyatnya. Dan bila ia seorang pemimpin, maka ia bisa
menyalurkan segala energi kepemimpinannya untuk mewujudkan kemakmuran
rakyatnya.
Implementasi wujud keramahan tersebut menjadi hal
paling esensial, mengingat hakikat orang beriman itu tidak hanya pandai
melafalkan sumpah tertentu, akan tetapi yang lebih penting dari itu
adalah wujud konkret tindakannya di masyarakat. "Al-imanu tashdiiqun
bil qalbi, wa ikrarun bil lisan, wa a'malun bil arkan" (orang beriman
itu tidak hanya membenarkan dalam hati, dan mengikrarkan di lisan, tapi
lebih dari itu adalah melaksanakan dalam bentuk perbuatan).
Dengan
memperhatikan esensi orang beriman ini, maka kalimat berikutnya dari
hadis tersebut sangat kontekstual, bahwa sebaik-baik manusia adalah
orang yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Artinya, keberadaan
kita sebagai manusia (dalam posisi apa pun) akan sangat ditentukan
seberapa jauh kita bisa memberi manfaat bagi sekelilingnya. Kalau
prinsip ini dijadikan pegangan utama, maka tentu tidak ada namanya
anasir-anasir tindakan merendahkan kemanusiaan yang muncul di hati.
Tidak
ada namanya "kezaliman struktural" manakala kita diberi amanah
menjalankan kekuasaan. Tak ada namanya ketakutan akan turunnya
pencitraan ketika kita senantiasa berpegang pada kebenaran. Semua
tindakan akan tersubordinasikan untuk meraih tujuan hakiki orang
beriman, yaitu rida Allah SWT. Semoga Allah senantiasa memberi hidayah
kepada kita semua untuk selalu berada pada garis kebenaran-Nya, sampai
kita semua menghadap-Nya dengan husnul khatimah. Amin ya Rabbal 'alamin.
Sumber: republika.co.id
Posted by pendekar tanpa bayaran | Posted on
Filed under:
hikmah
Don't miss a single post! Subscribe to my RSS feed
Posted by
pendekar tanpa bayaran |
Leave a Comment