Salah satu ciri-ciri orang yang bertakwa adalah mereka yang mampu
menahan ghaizh (marah). Ini disebutkan dalam surah Ali Imran ayat 134.
Dalam tafsir Imam Qurthubi dijelaskan, ghoizh itu artinya hampir mirip
dengan ghadhab (marah). Namun, secara rasa bahasa, ghadhab tidaklah
sama persis dengan ghaizh. Ghadhab adalah marah yang diwujudkan dengan
anggota tubuh seseorang. Orang yang marah dalam pengertian ghadhab,
mulutnya akan mengeluarkan kata-kata keji, kadang-kadang tangannya ikut
menampar, memukul, atau membanting barang-barang yang ada di
sekitarnya, sementara kakinya juga ikut bertindak. Arti yang paling
tepat untuk kata ghadhab dalam bahasa Indonesia adalah murka.
Adapun
ghaizh adalah marah yang terjadi pada diri seseorang, namun kemarahan
itu hanya bergolak di dalam hati dan tidak mewujud pada anggota
tubuhnya. Paling-paling wajahnya sedikit memerah atau matanya berkilat.
Sementara tangan, kaki, dan lidahnya tidak mengeluarkan tindakan keji
dan merugikan orang lain. Arti yang paling tepat untuk kata ghaizh itu
adalah marah.
Diceritakan dalam banyak hadis bahwa Rasulullah
SAW kalau marah tidak pernah menampakkan wujud pada diri Beliau hal-hal
yang menyakiti orang lain atau merendahkan harga diri sendiri. "Pernah
suatu hari beberapa orang Yahudi lewat di depan rumah Nabi. Saat itu
Nabi sedang bersama Aisyah ra. Orang Yahudi itu memberikan salam dengan
ucapan: "Assaamualaik!"(mati kena racunlah kamu). Nabi menjawab:
"Alaikum" (Atasmu juga). Serta-merta Aisyah menjawab: "Waalaikum saam
wal la'nah" (kamu semua mati kena racun dan kena laknat). Saat itu Nabi
menasihati Aisyah bahwa Allah menyukai kasih sayang pada tiap sesuatu."
(HR Bukhari dan Muslim).
Pada suatu hari, Maimun bin Mahran ra
sedang duduk di rumahnya dan bersiap-siap untuk makan dengan para tamu.
Tiba-tiba, budak wanitanya terpeleset dan wajah beliau tersiram kuah
sup panas. Serta-merta beliau bangkit dan hendak memukul budaknya itu.
Sang budak membaca ayat Alquran: "Orang bertakwa mampu menahan marah".
Maimun menjawab, "Ya, aku menahan marahku." Kemudian, sang budak
melanjutkan ayat tersebut: "Dan memaafkan kesalahan orang". Maimun
menjawab, "Aku memaafkanmu karena Allah." Kemudian, budak itu menutup
ayat tersebut: "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat
baik". Maka, Maimun berkata, "Aku membebaskanmu karena Allah."
Allah
menegaskan, orang bertakwa itu adalah mereka yang mampu menahan marah.
Sementara sekarang ini, banyak di antara manusia yang justru tidak
mampu menahan kemurkaan. Dalam perjalanan ke kantor saja, di tengah
kemacetan lalu lintas, mulut keluar kata-kata layaknya kebun binatang.
Belum lagi tawuran yang merajalela dan sudah hampir menghinggapi
seluruh lapisan masyarakat. Semua itu adalah wujud ketidakmampuan
menahan murka.
Jika menahan murka yang merusak dan menyakiti
orang lain saja belum mampu, bagaimana dapat menahan marah? Padahal,
orang bertakwa tidak diminta menahan murka, tetapi justru diminta untuk
menahan marah yang jauh lebih sulit melakukannya. Dengan demikian,
tampaknya kedudukan kita masih jauh dari level orang bertakwa. Wallahu
a'lam.
sumber:republika.co.id
Posted by pendekar tanpa bayaran | Posted on
Filed under:
hikmah
Don't miss a single post! Subscribe to my RSS feed
Posted by
pendekar tanpa bayaran |
Leave a Comment