opo yo

saya adalah ibu rumah tangga yang ingin mengoptimalkan waktu saya untuk sesuatu yang bermanfaat

TAHUKAH BUNDA ...

Tahukah Bunda, butuh waktu ratusan tahun untuk menguraikan popok sekali pakai (diapers). Bukan hanya itu, dalam buku Green Babies juga disebutkan di Amerika, setiap tahunnya seorang bayi menghabiskan kurang lebih 1500 diapers yang senilai dengan 3 batang pohon. Jika dengan rasio yang sama, di Indonesia ada 100 ribu bayi, kira – kira setiap tahun akan ada 300 ribu pohon ditebang. Apa yang akan terjadi dengan bumi kita? Silakan Bunda bayangkan sendiri! Belum lagi uang yang Bunda keluarkan tiap bulan untuk membeli diapers. Jika sebulan menghabiskan 30 diapers, dengan asumsi harga per diapers 1500 rupiah berate satu bulan kita menghabiskan 45.000 rupiah hanya untuk diapers. Setahun? Silakan hitung sendiri.

Kini saatnya Bunda beralih ke cloth diapers. Apa sih, cloth diapers? Pada prinsipnya fungsinya sama dengan popok sekali pakai. Bedanya Cloth Diapers, selanjutnya kita sebut clodi, bisa dipakai berulang – ulang karena bisa dicuci. Daya serapnya? Ada yang satu kali pipis, tapi ada juga yang sampai 8 kali pipis. Bentuknya? Clodi seperti celana yang bisa disesuaikan ukurannya tergantung besarnya bayi Bunda. Di dalamnya ada insert atau lampin yang bisa diganti sesuai kebutuhan.

Kita Dan Hutang

Orang bilang nggak wajar hidup tanpa hutang. Benarkah? Kalau kita masih punya pikiran seperti itu, segera kita hapus saja. Karena dalam Islam hutang akan menurunkan izzah atau harga diri kita. Tetapi pada kenyataannya, seringkali kita mengabaikan hal tersebut. Mungkin terdesak kebutuhan. Sebenarnya tidak ada masalah dalam hal hutang piutang, karena itu adalah bagian dari tolong menolong dalam kebaikan. Tetapi, yang menjadi masalah ketika kita berbelit – belit dalam membayar hutang. Padahal janji kita ketika akan berhutang akan dibayar tepat waktu.

Seorang teman yang punya usaha perlengkapan muslim mengeluh, sering kehabisan uang untuk kulakan. Bukan karena barangnya tak laku, tapi karena pembelinya masih pada ngutang. Yang lebih miris lagi, seorang ibu jadi enggan ikut taklim karena teman – teman satu taklimnya suka berhutang padanya dan sulit ketika ditagih. Ibu yang lain mengeluh uang yang diberikan suaminya setiap bulan seringkali kurang. Usut punya usut ternyata ibu ini suka koleksi jilbab dari bermacam model dan warna yang dibeli dengan cara kredit.

Saya tak hendak menyalahkan kita yang suka berhutang. Karena kadang kita dihadapkan pada situasi yang membuat kita memilih hutang sebagai jalan satu – satunya. Tetapi marilah kita sadari, betapa pentingnya kita menyegerakan menunaikan hak orang lain. Rasulullah bahkan memasukkan sebagai penganiayaan, prilaku orang berhutang yang berbelit – belit dalam membayar hutangnya. Kadang kita berpikir bahwa si pemberi hutang belum membutuhkan, sehingga kita menunda pembayaran. Tapi siapa yang berani menjamin? Mungkin kalau kebutuhan pokoknya cukup, ya untuk keperluan yang lain. Bayar sekolah anak mungkin, atau modal usaha. Mungkin usaha kita tidak maju – maju salah satu sebabnya karena modal habis dihutang. Bagaimana ekonomi umat Islam mau maju? Sementara KJKS banyak yang kolaps karena nasabah tidak bayar hutang. Dan umumnya kita enggan untuk menagih, merasa sungkan, mengharap pengertian dan sebagainya.

Mungkin tips berikut bisa dicoba agar kita terhindar dari masalah hutang piutang. Pertama, budayakan menabung agar jika ada kebutuhan mendadak kita punya cadangan. Kalaupun terpaksa berhutang tidak banyak. Kedua, bekerja sekuat tenaga agar kita punya cukup dana untuk mencukupi kebutuhan kita. Ingat kata Aa Gym, saya tidak ingin kaya tapi saya harus kaya. Ketiga, belilah barang yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Jangan tergoda bujuk rayu sales yang menawarkan pembayaran ringan dengan cara diangsur. Pikirkan terlebih dahulu, pentingkah barang itu atau masih bisa ditunda. Keempat, utamakan membayar hutang sebelum memenuhi kebutukan yang lain. kata Rasulullah, ”seandainya saya mempunyai emas sebesar bukit Uhud, saya tidak akan merasa senang kalau emas itu masih ada pada saya selama tiga hari, selain dari apa yang telah dipersiapkan untuk membayar hutang”. Bayarlah hutang tepat pada waktunya. Ingat tingkatan ukhuwah yang paling tinggi adalah itsar, mendahulukan saudara kita. Bisa jadi sebenarnya saudara kita sedang sangat membutuhkan tetapi enggan untuk menagih karena kasihan pada kita. Kelima, yang tak kalah penting adalah banyak bersedekah dan berdoa kepada Allah seperti doa Rasulullah ” Ya Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu dari terlanda hutang dan dalam kekuasaan orang lain.” Sedangkan dengan sedekah, membelanjakan harta di jalan Allah maka Allah akan menggantinya dari jalan yang tidak disangka – sangka.

Kita memang tidak bisa terlepas sama sekali dari masalah hutang piutang. Itulah sebabnya kenapa dalam Islam diperbolehkan hutang piutang. Tetapi setidaknya hutang piutang itu bisa menjadi sarana untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, dan bukan justru menimbulkan kemudharatan dan saling mendzalimi satu sama lain.

Tubuhnya Kecil

Tubuhnya kecil, perutnya besar karena sedang hamil anak ketujuhTubuhnya kecil,
perutnya besar karena sedang hamil anak ketujuh. Tas kresek merah di tangan
kanannya berisi pakaian kotor. Tangan kiri nya menenteng kardus berisi buku –
buku sisa yang belum laku di bazaar yang baru diikutinya. Begitulah kegiatannya
sehari – hari. Di mana ada bazaar, hampir selalu ada dia. Lalu ke mana suaminya?
Katanya sedang berdakwah. Ya, ia merelakan itu semua, ia ridho. Biarlah ia yang
menanggung semua kebutuhan keluarga, mulai makan, pakaian, bahkan biaya sekolah
anak – anak pun bayar uang kontrakan. Ia rela, asalkan suaminya lancar
berdakwah.
Aku menangis melihat ketulusan hatinya. Aku menangis membayangkan bagaimana ia
harus menjalani semuanya sendiri. Mengurus keenam anaknya sendiri, sementara ia
harus mencari nafkah. Sementara aku yang hanya ibu rumah tangga dan hanya
mengurus tiga balita dibantu seorang khadimat. Dan suamiku tak membebani aku
untuk mencari penghasilan tambahan.
Aku malu melihat semangatnya. Qiyamul lailnya tak pernah bolong, meski aku tahu
ia pasti sangat kelelahan melewati harinya. Sedangkan aku? Kalau tidak tidur
siang, kadang terlewat untuk bangun malam. Hafalan qur’annya? Ternyata aku juga
kalah. Ia tak pernah absen setor hafalan setiap kali halaqah. Aku? Seringkali
harus membayar iqob sebagai konsekuensi tidak setor hafalan. Kadang beralasan
pula karena sibuk.
Aku malu melihat kesungguhannya. Ketika jadwal halaqah, ia meninggalkan
bazaarnya sementara. Padahal tempatnya bazaar dan tempat halaqah bukan jarak
yang dekat. Meskipun ketika sampai di tempat, hanya dua temannya yang hadir.
Yang lain kemana, tanyanya. Ibu A masih lembur di kantor, mbak B anaknya sakit,
C suaminya tidak bisa mengantar. Betapa tersentilnya aku yang sering memakai
alasan yang sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan ketidakhadiranku di
halaqah. Misalnya, khadimat tidak masuk. Kenapa tidak dibawa anak – anak? Suami
tidak bisa mengantar. Kenapa tidak naik becak?
Tapi aku juga marah melihat suaminya. Menurutku ia tidak handal – handal amat
dalam dakwah. Yang lebih banyak binaannya, ada. Yang lebih jauh tempatnya
mengisi taklim, banyak. Tapi mereka juga mencari nafkah, mereka juga tetap
bekerja meskipun ada yang tidak punya pekerjaan tetap. Dakwah memang perlu,
harus bahkan wajib. Tapi menafkahi istri dan anak, apa itu bisa ditinggalkan
dengan alasan dakwah?
Kami memanggilnya mbak Siti. Beberapa waktu yang lalu, ia melahirkan anak
ketujuh. Alhamdulillah laki – laki. Keenam anaknya yang lain perempuan. Kami
semua berdoa agar Allah mengganti semuanya dengan yang lebih baik. Ketulusan dan
kesungguhanmu menjadi cambuk bagi kami semua. Dan kami juga berdoa semoga
suaminya diberi kesadaran dan kemudahan dalam bekerja.

Berilah kesempatan kepada saya untuk berwira usaha. Saya tidak ingin kaya, tapi saya harus kaya.