Hikmah Bersinergi

Dalam surah al-Maidah ayat 3, Allah SWT berfirman, “Dan tolong-menolonglah kamu sekalian pada kebaikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan ....“

Ayat tersebut di atas secara tegas memerintahkan kepada orang yang beriman bahwa di dalam menyelesaikan berbagai permasalahan sosial kemasyarakatan, termasuk masalah politik, budaya, ekonomi, dan kepemimpinan, harus mengedepankan sinergi dan koordinasi (taawun). Karena, hanya dengan sinergilah permasalahan seberat dan sekompleks apa pun pasti dapat diselesaikan dengan baik. Sinergi inipun dapat memadukan berbagai macam potensi dan kekuatan, baik yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang, sehingga terjadi saling mengisi dan saling memperkuat. Ibarat sebuah bangunan yang mampu berdiri dengan tegak ketika terjadi sinergi dan saling menopang yang harmonis antarberbagai unsur yang terdapat di dalamnya. Bahkan, bukan sekadar berdiri tegak, keindahan bangunan tersebut pun akan tampak dengan jelas.

Rasulullah SAW memberikan suatu ilustrasi bahwa mukmin yang satu dengan mukmin yang lain ibarat satu bangunan yang saling memperkuat. Al-mukmin lil-mukmin kal bunyaan al-waahid yasyuddu ba'duhum ba'dhon (HR Muslim).
Pernyataan Rasulullah SAW ini sejalan dengan firman Allah SWT pada QS ash-Shaff [61]: 4. “Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang berjuang di jalan-Nya dalam keadaan berbaris rapi seperti sebuah bangunan yang kokoh.“

Antara Marah dan Murka

Salah satu ciri-ciri orang yang bertakwa adalah mereka yang mampu menahan ghaizh (marah). Ini disebutkan dalam surah Ali Imran ayat 134. Dalam tafsir Imam Qurthubi dijelaskan, ghoizh itu artinya hampir mirip dengan ghadhab (marah). Namun, secara rasa bahasa, ghadhab tidaklah sama persis dengan ghaizh. Ghadhab adalah marah yang diwujudkan dengan anggota tubuh seseorang. Orang yang marah dalam pengertian ghadhab, mulutnya akan mengeluarkan kata-kata keji, kadang-kadang tangannya ikut menampar, memukul, atau membanting barang-barang yang ada di sekitarnya, sementara kakinya juga ikut bertindak. Arti yang paling tepat untuk kata ghadhab dalam bahasa Indonesia adalah murka.

Adapun ghaizh adalah marah yang terjadi pada diri seseorang, namun kemarahan itu hanya bergolak di dalam hati dan tidak mewujud pada anggota tubuhnya. Paling-paling wajahnya sedikit memerah atau matanya berkilat. Sementara tangan, kaki, dan lidahnya tidak mengeluarkan tindakan keji dan merugikan orang lain. Arti yang paling tepat untuk kata ghaizh itu adalah marah.

Kuasai, Jangan Cintai

Kuasai, jangan cintai. Demi kianlah semestinya umat Islam memperlakukan dunia dan seisinya. Sebab, Islam bukan ajaran yang bersifat dikotomi. Di ma na untuk meraih rida Tuhan harus bersikap antidunia dan melulu meng isi waktu dengan ibadah ritual semata.

Justru Islam mewajibkan seluruh umatnya untuk tampil ke gelanggang, mengatur dunia (menguasai) de ngan berpedoman dan berprinsip pada aturan main Tuhan (syariah). Seperti itulah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW beserta para sahabatnya.

Seperti kita ketahui dalam sejarah peradaban Islam, hampir semua sektor kehidupan dikuasai oleh umat Islam. Sebut saja sektor ekonomi, yang kini menjadi sektor utama dalam kehidupan kita. Beberapa saat setibanya di Kota Madinah, Abdurrahman bin Auf langsung menuju pasar dan berniaga di dalamnya.

Dalam beberapa tempo yang tidak begitu lama, Abdurrahman bin Auf telah menguasai pasar Madinah yang sebelumnya dikuasai oleh Yahudi. Artinya, dengan spirit iman, Abdurrahman bin Auf mampu menguasai sektor ekonomi yang dengan cara seperti itu, ia bisa berkontribusi harta dalam perjuangan jihad fisabilillah.

Melebur Dosa

Suatu saat seorang ulama garda depan Bashrah mendapatkan seorang pemuda meminta resep mujarab pelebur dosa pada seorang dokter. Dan, dokter memerintahkannya untuk melakukan hal-hal berikut.

Ambillah akar pohon kefakiran pada Allah berikut akar tawadhu yang tulus dan ikhlas kepada Allah. Jadikan taubat sebagai campurannya, celupkan dalam wadah rida atas semua takdir Allah. Aduklah dengan adukan qanaah terhadap apa yang Allah berikan kepada kita. Masukkan dalam kuali takwa. Tuangkan ke dalamnya air rasa malu lalu didihkanlah dengan api cinta dan masukkan dalam adonan syukur serta keringkan dengan kipasan harap lalu minumlah dengan sendok pujian (hamdalah).

Banyak orang berlaku dosa dan durjana kepada Allah karena merasa cukup pada kemampuan dirinya seakan tak lagi butuh pada siapa pun, termasuk pada Sang Mahakaya. Dia beranggapan bahwa semua yang dia dapatkan adalah berkat hasil dari kekuatan pikirannya, kemumpunian ilmunya, dan kejernihan kalkulasinya. Inilah yang menimpa Qarun yang angkuh dengan harta yang dimilikinya yang kemudian Allah turunkan azab padanya dengan ditelannya dia oleh bumi yang tidak lagi suka pada kecongkakan yang dia pamerkan sehingga membuat bumi gerah.

Rasulullah Menyuruh Kita Bersikap Ramah

Rasulullah SAW bersabda, "Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia." (HR Thabrani dan Daruquthni, dari Jabir RA).

Hadis di atas kembali mengingatkan jati diri kemanusiaan kita agar selalu bersikap ramah dalam berinteraksi sosial di antara sesama. Suatu sikap yang dalam satu bulan terakhir ini menjadi pertanyaan kita semua, khususnya menyangkut sikap kita sebagai manusia untuk menghargai hak-hak kemanusiaan sesama.

Aksi bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), Kepunton, Solo, (25/9) lalu merajalelanya korupsi di berbagai bidang dan pelbagai kerusuhan yang menjurus konflik SARA seperti kasus di Ambon beberapa waktu lalu, makin menguatkan bahwa kita mulai tidak ramah dengan nilai-nilai kemanusian dan kemajemukan. Kita mulai tidak acuh dan tak ramah dalam mengawal bumi pertiwi yang kita cinta ini.

Bila melihat hadis di atas, sangat jelas dan tegas bahwa objek yang dituju dari hadis tersebut adalah "orang beriman". Jadi, sikap keramahan itu menjadi satu hal yang mutlak harus diintegrasikan dalam diri orang yang beriman. Artinya, kualitas keimanan seseorang itu salah satunya bisa diukur dari seberapa jauh ia sebagai seorang mukmin dalam kehidupan sosialnya itu melaksanakan "keramahan" kemanusiaannya (baca menghargai dan menghormati).