Tubuhnya Kecil

Tubuhnya kecil, perutnya besar karena sedang hamil anak ketujuhTubuhnya kecil,
perutnya besar karena sedang hamil anak ketujuh. Tas kresek merah di tangan
kanannya berisi pakaian kotor. Tangan kiri nya menenteng kardus berisi buku –
buku sisa yang belum laku di bazaar yang baru diikutinya. Begitulah kegiatannya
sehari – hari. Di mana ada bazaar, hampir selalu ada dia. Lalu ke mana suaminya?
Katanya sedang berdakwah. Ya, ia merelakan itu semua, ia ridho. Biarlah ia yang
menanggung semua kebutuhan keluarga, mulai makan, pakaian, bahkan biaya sekolah
anak – anak pun bayar uang kontrakan. Ia rela, asalkan suaminya lancar
berdakwah.
Aku menangis melihat ketulusan hatinya. Aku menangis membayangkan bagaimana ia
harus menjalani semuanya sendiri. Mengurus keenam anaknya sendiri, sementara ia
harus mencari nafkah. Sementara aku yang hanya ibu rumah tangga dan hanya
mengurus tiga balita dibantu seorang khadimat. Dan suamiku tak membebani aku
untuk mencari penghasilan tambahan.
Aku malu melihat semangatnya. Qiyamul lailnya tak pernah bolong, meski aku tahu
ia pasti sangat kelelahan melewati harinya. Sedangkan aku? Kalau tidak tidur
siang, kadang terlewat untuk bangun malam. Hafalan qur’annya? Ternyata aku juga
kalah. Ia tak pernah absen setor hafalan setiap kali halaqah. Aku? Seringkali
harus membayar iqob sebagai konsekuensi tidak setor hafalan. Kadang beralasan
pula karena sibuk.
Aku malu melihat kesungguhannya. Ketika jadwal halaqah, ia meninggalkan
bazaarnya sementara. Padahal tempatnya bazaar dan tempat halaqah bukan jarak
yang dekat. Meskipun ketika sampai di tempat, hanya dua temannya yang hadir.
Yang lain kemana, tanyanya. Ibu A masih lembur di kantor, mbak B anaknya sakit,
C suaminya tidak bisa mengantar. Betapa tersentilnya aku yang sering memakai
alasan yang sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan ketidakhadiranku di
halaqah. Misalnya, khadimat tidak masuk. Kenapa tidak dibawa anak – anak? Suami
tidak bisa mengantar. Kenapa tidak naik becak?
Tapi aku juga marah melihat suaminya. Menurutku ia tidak handal – handal amat
dalam dakwah. Yang lebih banyak binaannya, ada. Yang lebih jauh tempatnya
mengisi taklim, banyak. Tapi mereka juga mencari nafkah, mereka juga tetap
bekerja meskipun ada yang tidak punya pekerjaan tetap. Dakwah memang perlu,
harus bahkan wajib. Tapi menafkahi istri dan anak, apa itu bisa ditinggalkan
dengan alasan dakwah?
Kami memanggilnya mbak Siti. Beberapa waktu yang lalu, ia melahirkan anak
ketujuh. Alhamdulillah laki – laki. Keenam anaknya yang lain perempuan. Kami
semua berdoa agar Allah mengganti semuanya dengan yang lebih baik. Ketulusan dan
kesungguhanmu menjadi cambuk bagi kami semua. Dan kami juga berdoa semoga
suaminya diberi kesadaran dan kemudahan dalam bekerja.